ISU MALPRAKTEK : ANTARA DUGAAN DAN KENYATAAN

Oktober 22, 2007

Dari penanya saudara “J” di jakarta.
Tantang bagamaana sebenarnya tantang kasus-kasus ‘Malpraktek” yang terjadi? Mengapa seolah-olah dokter menolak menerima kenyataan tersebut?
——–

ISU MALPRAKTEK : ANTARA DUGAAN DAN KENYATAAN

Oleh : Dr. Hardi

Akhir-akhir ini berita mengenai “Dugaan” malpraktek yang dilakukan oleh tenaga kesehatan khususnya dokter kian marak. Kasus-kasus baru muncul dalam pemberitaan dan bahkan kasus-kasus lama pun diangkat kembali dalam berita yang tak kalah hangatnya. Masih teringat bagi kita rentetan kasus yg Marka diberitakan media. Sebut saja kasus Irwanto,PhD dosen dan peneliti di Universitas Atmajaya yang mengalami lumpuh setelah pemberian Streptokinase, kasus Felina Azzahra (16 bulan) yang mengalami kebocoran usus setelah dioperasi di Sakit Karya Medika Cibitung Bekasi, kasus Ny.Agian yang mengalami penurunan kesadaran irreversible setelah operasi sectio caesaria dalam menolong persalinanya, kemudian kasus yang menimpa almarhumah artis Sukma Ayu yang mengalami coma setelah tindakan operasi dengan anestesi umum, dan terakhir kasus yang menimpa seorang anak yang mengalami kelumpuhan setelah tindakan lumbal punksi (LP) pengambilan cairan tulang belakang untuk mendiagnosa penyakit, yang melibatkan Dr.Cassy direktur RS.Hasan Sadikin Bandung.

Berbagai kasus yang disebutkan diawal merupakan kasus-kasus yang sering diberitakan media masa, atau kasus yang mendapat blow up dari media. Kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang terdata oleh lembaga perlindungan konsumen kesehatan Indonesia. Lebih santernya berita beberapa kasus tersebut dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor tersebut dapat disebabkan oleh keunikan kasus tersebut dari sudut pandang media, faktor korbannya, atau faktor dokter dan tenaga kesehatan yang terlibat. Kasus Irwanto misalnya, lebih menjadi sorotan, atau justru menjadi berita yang hangat setelah ia aktif dalam berjuang dan membela hak-hak pasien. Seteleh itu barulah media massa memberitakan lebih gesit, dan bahkan media seakan mefonis bahwa dokter yang memberikan streptokinase pada Irwanto benar-benar telah melakukan kesalah diagnosis dan terapi pemberian streptokinase tersebut. Artinya kalangan praktisi media menganggap ini kasus yang unik. Begitu juga halnya dengan kasus Fellina Azzahra, banyak media menilai dalam pemberitaannya bahwa ini suatu kasus yang unik, atau dengan kata lain media menilai ini memang suatu tindakan malpraktek. Karena setelah tindakan operasi berakibat bocornya usus, setidaknya begitulah menurut pemberitaan media massa. Lain halnya lagi dengan kasus Ny.Again, pemberitaannya justru semakin hangat dan gesit setelah tindakan dan keingginan controversial suaminya (Hasan) untuk meminta “Hak mati” Euthanasia bagi istrinya. Kasus anak yang mengalami kelumpuhan di Bandung setelah lumbal punksi karena melibatkan orang nomor satu di RS.Hasan Sadikin Bandung. Lain halnya dengan kasus Sukma Ayu, menjadi sorotan selain dari kasusnya yang dinggap unik oleh media juga karena ia seorang artis, sehingga pemberitaannya jelas menjadi berita hangat bagi media tersebut.

Terlepas dari sebab mengapa beberapa kasus ini menjadi lebih diberitakan dari sekianbanyak kasus yang lain, yang lebih penting menurut penulis adalah mengetahui, pertama; apakah kasus yang dinggap dan diisukan malpraktek bagi masyarakat umum dapat difonis sebagai suatu tindakan malpraktek, kedua; bagaimana dan dimana titik temu antara pandangan dokter dan tenaga kesehatan tentang tindakan medis yang diduga suatu malpraktek. Dalam hal ini yang perlu dijelaskan adalah, apakah akibat yang terjadi pada pasien tersebut merupakan komplikasi (akibat lanjut) dari penyakitnya atau memang merupakan akibat tindakan medis yang dilakukan. Dalam tulisan ini, kita akan melihat secara umum beberapa kemungkinan dari kasus-kasus yang diduga suatu malpraktek, terlepas dari beberapa kasus yang hangat diberitakan media.

Untuk memahami permasalahan tersebut, sewajarnyalah kita mengetahui bagaimana suatu prosedur medis dilakukan. Seorang dokter dalam melakukan penatalaksanaan suatu kasus atau penyakit pasien, meliputi proses menegakkan diagnosis dan pengobatan (terapi). Dalam proses menegakkan diagnosis atau menentukan apa penyakitnya dokter akan melakukan prosedur ilmiah dan empiris. Pertama dokter melakukan serangkaian anamnesis (tanya jawab) dengan pasien atau keluarga pasien, mencari serangkaian riwayat penyakit, gejala-gejala, dan keluhan-keluhan yang dirasakannya (simtom). Kedua dokter melakukan pemeriksaan fisik, mulai dari tanda-tanda vital, termasuk tekanan darah sampai pemeriksaan sistemik (seluruh tubuh) yang terkait, terutama dengan fokus kepada organ (anggota tubuh) atau sistim organ yang dikeluhkan sakit oleh pasien. Bila kasus tersebut belum bisa diterapi secara definitif maka dilakukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang, mulai dari laboratorium sederhana, canggih, pemeriksaan radiologi sederhana, radiologi lanjut, hingga tindakan diagnosis invasif. Kebutuhan pemeriksaan penunjang ini amat ditentukan oleh hasil klinis (anamnesis dan pemeriksaan fisik) diawal. Khusus untuk tindakan pemeriksaan invasif harus disertai dengan persetujuan tindakan medis (inform consent) secara tertulis dari pasien atau keluarga, setelah terlebih dahulu pentingnya pemeriksaan tersebut dan resiko pemriksaan tersebut. Karena tindakan pemeriksaan invasif mempunyai resiko pada pasien, baik kecil ataupun besar. Kemudian, setelah diagnosis dapat ditegakkan maka akan dilakukan terapi definitif. Terapi dapat berupa hanya pemberian obat-obatan (farmakologik atau medika mentosa), terapi bedah (operasi), terapi sinar (radiologis), atau gabungan dari beberapa terapi tersebut. Dalam melakukan tugasnya, secara normatif dokter terikat dengan sumpah dokter. Sumpah itu di ucapkannya dihadapan Tuhan dan kitab suci ketika dilantik menjadi dokter (yudisium). Dari 10 poin sumpah/ janji dokter tersebut, paling tidak ada 3 poin yang secara eksplisit dan tegas berkaitan langsung dengan penanganan dan sikap terhadap pasien. Pada poin pertama diucapkan “Saya membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” Pada poin 4 “Kesehatan penderita akan saya utamakan, dan pada poin 9 “Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Berdasarkan nilai-nilai luhur agama, moral, dan etik, serta sumpah kedokteran tersebut, dokter dituntun untuk bersikap dan bertindak.

Tanpa mengurangi simpati kepada para korban dugaan malprakterk tersebut. Penulis mengajak kita menelaah dan berfikir secara objektif. Sejenak marilah kita lihat beberapa kemungkinan yang terjadi pada kasus-kasus yang diduga suatu malpraktek. Pada kasus section caesaria (operasi melahirkan), efek buruk mungkin terlihat setelah operasi baik pada anak ataupun pada ibu. Seolah-olah efek tersebut memang merupakan akibat dari tindakan operasi yang dilakukan. Untuk mengetahui apakah efek yang terjadi adalah akibat dari tindakan operasi yang dilakukan atau bukan, perlu diketahui secara seksama apa indikasi operasi tersebut. Pada kasus ny.Again seperti yang diberitakan media massa, operasi dilakukan karena ny.again mengalami hipertensi saat kahamilannya dan tidak adanya kemajuan persalinan. Bila dicermati hal ini, banyak kemungkinan yang bisa terjadi secara medis berdasarkan perkembangan penyakitnya. Apalagi setelah dikonfirmasi pihak keluarga kepada tim dokter dan rumah sakit yang menangani, telah dilakukan sesuai standar medis. Pada hipertensi dalam kehamilan (ekslamsia atau pre-ekslamsia) terutama apabila si ibu telah sempat mengalami kejang, maka gejala sisa (sequele) dapat muncul di kemudian hari. Efek tersebut terjadi melalui patofisiologi (mekanisme) vasospaseme cerebral (penyempitan pembuluh darah otak) yang menyebabkan iskemia. Bahkan gejala sisa tersebut dapat bersifat permanen dan fatal. Karena dengan mekanisme tersebut terutama pada saat kejang, tidak cukupnya oksigenasi dan nutrisi ke jaringan otak, sehingga gejala sisa tersebut dapat berupa kelumpuhan dan gangguan kognistif. Kepustakaan menunjukkan kejang terjadi setelah persalinan (postpartum) sekitar 44%, sebelum persalinan (antepartum) 38%, dan resiko fatal/ kematian 1,8%, dan efek samping yang berat sekitar 35%. Bahkan jika tidak ditolong segera, dapat mengancam kehidupan janin yang dikandungnya. Atau paling tidak anak lahir dengan gangguan otak atau motoriknya. Mujur pada kasus ny.Again hal ini tidak terjadi, dapat segera ditolong dan anak selamat. Seharusnya, sebelum segala tindakan dilakukan kondisi, segala konsekuensinya, dan segala alternatif rencana tindakan dijalaskan pada pihak keluarga. Pertanyaanya “Apakah sebelumya informasi ini sudah diberikan kepada pihak keluarga?” dan “Apakah ini suatu malpraktek?”

Tindakan lumbal punksi (LP) yang dilakukan terhadap anak, merupakan tindakan diagnosis invasive untuk mendiagnosa secara pasti apa penyebab infeksi selaput otaknya (meningitis). Apalagi jika diduga kemungkinan besar suatu meningitis tubercolosa seperti kasus di RS.HS Bandung tersebut. Tindakan ini sangat penting, dan untuk melakukannnya diminta persetujuan tertulis dari orang tua pasien. Karena konsekuensinya bila LP tidak dapat dilakukan atau orang tua menolak, maka akan diberikan terapi antibiotika dosis tinggi dan adekuat plus obat anti TB jika diduga kuat suatu meningitis tuberculosa. Pada kasus di Bandung persetujuan tersebut sudah dilakukan, sebagaimana diberitakan media massa. Tapi apakah konsekuensi, perkembangan penyakit, dan kondisi penyakit pasien telah dijelaskan pada keluarganya? Suatu radang selaput otak dapat menimbulkan kosekuensi serius dari dua jalur, radang selaput otak sendiri menyebabkan pasien sering kejang, dan ini akan mengganggu oksigenasi dan nutrisi otaknya. Selain itu radang selaput otak dapat berkembang menjadi radang orak (enchepalitis). Bersamaan dengan itu infeksi selaput otak (meningen) atau jaringan otak itu sendiri juga dapat menimbulkan gejala sisa. Bila sudah berlangsung lama, kedua hal ini akan dapat berakibat fatal atau meninggalkan gejala sisa yang berat pada pasien berupa gangguan neurologis, seperti kelumpuhan, gangguan bicara, dan gangguan perkembangan, dan kognisi. Tindakan lumbal punksi memang dapat menimbulkan efek samping, namun sangat jarang, apalagi dilakukan oleh dokter ahli.

Praktek kedokteran adalah pelayanan jasa sosial ekonomi yang unik. Sehingga jika disamakan dengan pelayanan jasa apapun tidak akan bisa sama. Meskipun saat ini secara perundang-undangan pasien sebagai konsumen dokter dapat menggunakan hak-haknya sesuai UU No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Usaha pasien meminta pertolongan dokter dan upaya dokter untuk membantu kesembuhan pasien secara implicit adalah suatu kontrak “Usaha maksimal.” Dokter sesuai ilmunya dan pengalaman empiris akan berfikir bahwa dengan diagnosis yang ia tegakkan dan terapi yang ia berikan pasien akan sembuh. Tapi kesembuhan adalah hak “Tuhan.” Apakah dokter dapat dituntut secara hukum bila pasien yang diobatinya tidak sembuh-sembuh setelah beberapa kali pengobatan, sedangkan dokter tersebut telah berbuat sesuai ilmunya? Inilah mungkin yang sering menjadi perdebatan.

Tindakan medis, baik tindakan diagnosis ataupun tindakan terapeutik (pengobatan) juga dapat menimbulkan efek samping, yang dalam istilah medik disebut dengan komplikasi. Misalnya, pemasangan infus saja dapat menimbulkan pembengkakan dan radang pada tempat suntukan jarum infus tersebut. Lalu apakah jika ini terjadi sudah dapat digolongkan sebagai kelalaian atau kesalahan medik? Karena secara keilmuan radang dan pembengkakan tempat suntikan infus dapat disebabkan berbagai factor, higiene pasien, pergerakan pasien, higiene petugas saat pemasangan, atau sterilitas alat yang dipasang. Pertanyaan mendasar adalah apakah jika petugas (dokter) telah melakukan tindakan sesuai keilmuannya dan sterilitas yang baik, kemudian terjadi komplikasi, dapat dikatakan suatu malpraktek, atau dapat dituntut secara hukum? Begitu juga halnya dengan kasus Irwanto,PhD dosen Universitas Atmajaya yang mengalami kelumpuhan setelah pemberian streptokinase. Streptokinase merupakan obat yang diberikan dengan diinjeksikan pada pasien yang didiagnosa sebagai Infark Miokard Akut “IMA” (serangan mendadak ancaman kerusakan otot jantung akibat tersumbatnya pembuluh darah jantung). Pemberian obat ini sebagai revaskularisasi (memperbaki aliran darah jantung) dengan menghancurkan penyebab sumbatannya. Sampai saat ini hal ini streptokinase masih merupakan salah satu obat terpilih sebagai trombolitik pada IMA. Efek samping dapat terjadi pada pemberian streptokinase bila memang ada resiko pada pasien untuk terjadi perdarahan sbelumnya, seperti stroke baru atau proses intrakranial lain, hipertensi berat, dan gangguan perdarahan. Diberitakan di media massa kesalahan penangan terjadi adalah berawal dari kesalahan diagnosa. Benarkah? Mendiagnosa IMA tidaklah terlalu sulit, apalagi oleh dokter ahli dan berpengalaman. Kemungkinan yang terjadi pada kasus Irwanto adalah efek samping pengobatan tersebut. Apakah Irwanto mengalami gangguan intrakranial sebelumnya? Bila Irwanto sebelumnya tidak mempunyai keluhan dan gejala yang mengarah kepada ganguan intrakranial, maka secara keilmuan dokter boleh memberikan streptokinase. Disinilah pertanyaan dan perdebatan yang sering terjadi. Menurut ilmu kedokteran bila penatalaksanaan kasus sudah didasari atas “Diagnosa yang tepat, terapi yang tepat, dengan dosis dan cara yang tepat pula,” sudah dapat dipertanggungjawabkan dan bukanlah suatu malpraktek, meskipun ada efek samping yang terjadi. Bila ada kesalahan yang terjadi baik dari diagnosa ataupun terapi, yang seharusnya sesuai standar kualifikasi dokter tersebut itulah malpraktek. Begitu juga halnya dengan kasus Irwanto,PhD tersebut. Lalu, bagaimana menurut pandangan masyarakat umum terutama pasien yang merasa dirugikan, khususnya lagi ahli hukum. Apakah setiap tindakan yang menimbulkan akibat jelek dapat dikategorikan bahkan divonis sebagai suatu malpraktek? Siapa yang akan memutuskan bahwa suatu tindakan tersebut suatu malpraktek atau bukan? Jika MKEK (Majelis Kehormatan dan Etik Kedokteran) yang memberikan penjelasan berdasarkan keilmuan dianggap hanya sebagai pembela sejawatnya, lalu pertimbangan siapa lagi yang akan diminta.

Secara sederhana, malpraktek menurut etika kedokteran, jika disimpulkan dapat diartikan dengan “Bila seorang dokter melakukan yang seharusnya tidak ia lakukan (kesalahan), atau bila seorang dokter tidak melakukan apa yang seharusnya ia lakukan (kelalaian).” Bila satu diantara keduanya ini (kesalahan atau kelalaian) dilakukan dokter maka ia jelas-jelas telah melakukan pelanggaran atau malpraktek. Meskipun tidak secara sempurna ia dapat dituntut secara hukum. Apakah berdasarkan Undang-undang (UU) Kesehatan nomor 23 Tahun 1992, atau pasal-pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Kesalahan yang dapat dilakukan oleh dokter misalnya, seorang dokter bedah yang mendiagnosa suatu radang usus buntu (apendiksitis), kemudian ternyata suatu kista ovarium, namun dia terus mekanjutkan operasinya, dan tidak merefernya ke spesialis kebidanan. Berhasil atau tidak, ini adalah suatu malpraktek. Bila terjadi suatu akibat yang jelek maka dokter bedah tersebut dapat dituntut dengan KUHP pasal 359, dan ini sudah termasuk tindakan pidana. Namur consumen (pasien) tentunya akan lebih melihat siapa yg melakukan tapi akan meliahat efek negatif yg ditimbulkannya.

Contoh lain misalnya yang termasuk kelalaian, bila seorang dokter menghadapi suatu kasus ancaman syok anafilaksis, akibat alergi gigitan serangga. Namun dokter tersebut tidak memberikan obat life saving (adrenalin) dan obat anti alergi lainnya, serta persiapan pemberian cairan. Tapi malah memberikan analgetik (penghilang rasa sakit), dan ternyata akhirnya pasien tersebut meninggal. Maka ini juga dapat digolongkan kepada malpraktek, dan bahkan tindakan pidana, dan dapat dituntut dengan UU KUHP pasal 304.

Diundangkannya UU No.29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran merupakan, wahana baru dalm sisitim praktek dan profesi kedokteran. Undang-Undang tersebut bertisi ketentuan praktek kedokteran, disiplin, pengawasan dan ketentuatan pidana. Undang-undang ini menjadi rambu-rambu bagi dokter yang melakukan praktek kedokteran dan pelindung bagi pasien sebagai consumen jasa pelayanan kedokteran tersebut. Meskipun berbagai profesi mengkritik kekurangan undang-undang ini, misalnya sebagian profesi hukum melihat undang-undang tersebut masih ‘dikuasai’ oleh para dokter sendiri, seperti konsul kedokteran dan pengawasan. Sedangkan sebagian profesi dokter melihat undang-undang tersebut sangat memberatkan. Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, sedapatnya tuntutan malpraktek dan penyimpangan pelayanan kedokteran oleh dokter didasarkan pada Undang-Undang tersebut dan peraturan lain yang berlaku.

Timbulnya berbagai polemik diujung tindakan medis tersbut adalah besarnya perbedaan ilmu, persepsi, dan pandangan antara pihak tenaga kesehatan (dokter) dan masyarakat (pasien). Titik temu dari semua permasalahan tersebut adalah, pertama; dokter harus bersikap dan bertindak sesuai indikasi medis dan kepentingan pasien, yang dilandasi dengan nilai-nilai agama, moral, etika, dan sumpah kedokteran. Kedua; segala kondisi pasien, segala konsekuensinya, rencana terapi dan segala resiko harus di jelaskan oleh dokter pada pasien/keluarga pasien. Ketiga; persetujuan atau penolakan tindakan medis oleh pasien/ keluarga pasien harus dilakukan secara tertulis sebelum tindakan tersebut dilakukan dan setelah pasien/ keluarga pasien mendapat penjelasan secara lengkap dan baik. Menurut hemat penulis, bila ketiga ini bisa dilakukan, maka tuntutan akan dugaan malpraktek dapat diselesaikan dengan baik, dan bila dokter benar-benar melakukan pelanggaran dapat dituntut secara hukum. Sudah saatnya dokter kembali ramah, bisa berbahasa dengan bahasa pasien, dan tidak menutup diri.
——————–